Kamis, 26 April 2012

Tembok Peradaban a la Kampus Kuning

Dulu waktu masa orientasi siswa jaman SMA, gue dibawa ke sebuah tempat yang menurut guru sejarah gue adalah 'Tembok Peradaban'. Kenapa begitu? 

Jadi tembok itu adalah pemisah dari 2 peradaban yang berbeda, menurut dia. Di satu sisi peradabannya maju, semua mudah didapat, pokoknya hidup serba mudah sementara di sisi lainnya kehidupannya keras, pokoknya perlu usaha besar untuk dapetin apa yang dimau. Pokoknya bener-bener besar gap-nya. 

Sekarang, sepertinya gue telah menemukan tembok peradaban versi gue sendiri. Setiap hari gue lewat sana, tiap hari mikir juga, sampai akhirnya sekarang gue simpulkan bahwa itu adalah tembok peradaban a la kampus kuning.

Ada tembok yang memisahkan antara wilayah kampus dan stasiun. Kehidupan kampus against kehidupan stasiun. Kalo dari arah kosan gue, gue harus melewati gang yang cukup padat lalu memotong rel kereta dan sampai di halte stasiun. 

Kehidupan stasiun bisa gue cap sebagai kehidupan yang keras, karena gue bisa liat berbagai macam strata di sana, gue juga bisa lihat sekeras apa usaha mereka untuk bertahan hidup. Di mulut gang aja udah keliatan hawa persaingannya, kios-kios fotocopy berjamuran di sana. Mungkin kalo lo lewat, lo mikir apa istimewanya? Buat gue, berjamurnya kios fotocopy, print ini menunjukkan bahwa betapa ketatnya persaingan untuk dapat bertahan hidup. Untuk menghargainya, gue kadang suka berganti-ganti kios, ga kenapa-kenapa sih, biar adil aja. Ga cuma kios fotocopy aja, tapi juga kios dvd, ini juga banyaaaaak banget. 

Kalo punya kios fotocopy dan jual dvd itu menjajakan barang, adalagi yang ga kalah kreatif yaitu penjaja jasa. Hem, bukan jasa juga sih, tapi hiburan lah setidaknya. Siapa mereka? Mereka adalah artist. Ada beberapa artist yang ga asing lagi di kober, contohnya mas yang suka main gitar klasik, group musik yang main gitar biola perkusi, atau si bapak berkeyboard. Nah, menarik nih mengenai bapak berkeyboard. Bapak ini (maaf) tuna netra. Dengan keterbatasannya ini, gue rasa permainan musiknya cukup menghibur kami kami para pedestrians. Dulu, bapak ini terlihat selalu berdua dengan istrinya yang juga tuna netra. Waktu si bapak mencari rezeki (main keyboard), sang istri jualan tissue. Duh kalo ngeliat mereka tuh ngiri, sebegitunya menjaga satu sama lain, ga mau kepisah. Pernah satu kali gue liat, si ibu salah jalan dan dimarahi sama salah satu pemilik kios, duh ga tega banget liatnya. Dan sejak saat itu gue ga pernah lagi liat si ibu ikut si bapak main keyboard. Tapi belakangan gue pernah lewat gang senggol (lumayan jauh dari stasiun ui) eh ada si ibu jualan tissue, tapi sendirian. 

Selain artist ada juga yang usahanya duduk dan gelar tiker, yah pasti tau lah kalian. Ada bapak-bapak bertopi, agak tua tapi badannya masih tegap dan bahkan dulu pernah naik angkot bareng dan gataunya dia gelar tiker duduk dan naro mangkok di depannya. Ada juga ibu-ibu yang sering berdoa dan menceritakan kisah hidupnya, kayak ' saya kemaren pas jatoh di bogor ya, itu masyaAllah, *pas ada yang ngasih uang* Alhamdulillah, semoga sehat, jadi kaya .... hidup saya *jeger kirain mau doain yang ngasih, gataunya malah ngedoain hidupnya sendiri -____- aneh kan?

Nah, di sisi sebaliknya ada kehidupan kampus yang kayaknya makin high gimana gitu. Jadinya timpang lah. Berasa banget beda atmosfirnya. Waktu jalan di kampus gue ngerasa biasa aja, kadang suka ga bersyukur karena ngeliatnya ke atas, banyak yang lebih lebih lebih bikin lupa diri, bikin ga bersyukur. Tapi beberapa menit kemudian ngelewatin wilayah stasiun gue jadi ngerasa banyak bersyukur, ternyata apa yang udah gue punya sudah lebih dari cukup kok, dibanding mereka yang masih harus bertaruh mempertahankan dirinya. Saat ngejalanin masa kuliah ini baru ngerti gue makna dari tembok peradaban yang guru gue kasih tau waktu SMA. 


.annisaauliajustmine

Tidak ada komentar:

Posting Komentar