Ada banyak hal menarik dalam keseharian yang seharusnya bisa saya tulis dan bagikan di sini. Tapi entah kenapa rasanya untuk memulai seringkali sulit. Padahal kalau sudah dimulai, malah susah berhenti.
Ah, maaf ya untuk intro yang monoton barusan, saya sebenarnya punya cerita menarik untuk disampaikan. Iya, saya paham bahwa setiap kepala punya definisi menarik sendiri-sendiri, tapi yaa sudahlah. Mari kita mulai.
Dari serangkaian masa studi sejak dulu hingga saat ini memang selalu terasa masa kritis dan lelahnya, yaa wajar namanya juga belajar. Kemarin, semester 4 tubuh saya menunjukkan perlawanan dengan memaksa saya berhenti sejenak selama kira-kira hampir 2 minggu dirawat secara intensif di rumah sakit, sebagian ceritanya saya tuliskan di laman ini.
Berhari-hari berada di rumah sakit mungkin membuat fisik saya bisa beristirahat, tapi tidak dengan pikiran. Saya terus memikirkan nasib tugas-tugas yang menumpuk sejak hari pertama dirawat. Andai tugas-tugas tersebut mandiri, mereka seharusnya bisa menyelesaikan urusannya sendiri. Haha, tidak lucu, Annisa. Saya yang diburu monster tugas pun memohon-mohon pada dokter untuk diperbolehkan segera pulang dan tentunya kuliah. Setelah memenuhi beberapa syarat, saya pun diperbolehkan keluar rumah sakit dengan beberapa catatan. Tidak boleh hidup di kosan sebelum kondisi stabil, menu makanan dijaga ketat, dan tidak boleh terlalu lelah. Ya, Dok. Kala itu Jum'at, saya boleh keluar rumah sakit sekitar jam 10 pagi. Saya memohon kepada ayah saya untuk mau mengantar saya langsung ke kampus karena akan ada kuliah Psikologi Perkotaan pada pukul 1. Awalnya jelas ia menolak, tapi kemudian ia mengiyakan permintaan saya. Setelah infus dilepas, saya mulai bergegas mandi. Rasanya begitu bersemangat untuk kembali ke rutinitas, karena tugas sudah meraung raung untuk dikerjaan. Ternyata yang ada setelah mandi saya justru mendadak pusing dan lunglai dan tertelungkup lagi di tempat tidur rumah sakit. Iya, saya yang sok kuat mau langsung kuliah, malah drop lagi.
Well, anyway
Sebenarnya saat ini yang ingin saya ceritakan bukan hal di atas tadi, tapi...
Tentang sebuah kekecewaan.
Saya sempat menyebutkan satu mata kuliah dalam deskripsi sebelumnya. Ya, psikologi perkotaan. Di dalamnya, kami mempelajari tentang perkembangan yang terjadi dalam kota, tentu saja perkembangan manusia dan interaksi di antaranya, juga dengan sistem yang bekerja. Menarik bukan? Tugasnya pun menarik. Untuk tugas UTS, kami diharuskan membuat essay tentang hal-hal terkait masalah di perkotaan. Tugas tersebut individu. Saya sendiri membuat essay tentang betapa polusi suara dapat mempengaruhi banyak hal, dari tingkat inteligensi anak sampai tingkat stress. Untuk tugas UAS, kami sekelas dibagi menjadi beberapa kelompok dan membuat replikasi penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya pada studi psikologi perkotaan. Karena sakit dan tertinggal info, saya yang tidak tau masuk dalam kelompok mana, kemudian dihubungi oleh teman-teman yang mau menerima saya sebagai anggota kelompok mereka, Afi, Fifah, Lukita dan Septi. Mereka mulai banyak mendiskusikan banyak hal di group Line, sementara saya kebingungan karena tidak bisa apa apa.
Yang hanya dapat saya lakukan waktu itu adalah mencari seorang bule untuk menjadi experimenter yang akan menjadi aktor utama dalam penelitian kami. Kami sempat beberapa kali mengubah konsep penelitian, membandingkan dua suku besar di Indonesia, pribumi dengan keturunan tiongkok, namun akhirnya kami memutuskan tetap membandingkan perilaku kooperatif pada warga asing dan warga lokal di Jakarta. Dengan kekuatan koneksi, setelah bersusah payah ke sana kemari, saya pun berhasil mendapatkan seorang bule yang rela dan mau menjadi experimenter penelitian kami. He is Dave. Bule Aussie yang saat itu menjadi staff pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus. Setelah saya cukup pulih, kami langsung mengagendakan 2 minggu berturut turut untuk conduct penelitian. Untuk mengontrol variabel lain, maka kami mengambil 2 waktu dan tempat yang bersamaan meskipun dalam minggu yang berbeda.
Pada minggu pertama, Dave yang memainkan perannya. Tugasnya adalah menanyakan arah pada masyarakat Jakarta. Dan kami akan melihat dan menghitung respon yang diberikan oleh masyarakat. Cukup berjalan dengan baik, meskipun di balik itu semua terdapat beberapa masalah, seperti kami datang terlambat ke GBK karena macet setelah menjemput Dave di apartemennya di Kelapa Gading, mobil terserempet motor, dan dompet saya dicuri. Pada minggu kedua, experimenter kami adalah saudara sepupu dari Fifah, (duh Fah maaf ya lupa namanya hehe). Tugasnya sama dengan Dave pada minggu sebelumnya. Hanya saja kendala lagi-lagi terus hadir. Kami sudah mengupayakan untuk berangkat awal, namun tetap saja agak kesiangan, kemudian venue dimana minggu lalu tempat Dave "mangkal" sudah berubah menjadi Area lari anjing, karena saat itu ada acara Dog run, untuk menemukan masyarakat yang sesuai dengan kriteria untuk ditanyakan pun agak susah (terkait masalah pengadministrasian) venue mulai sepi karena sudah agak siang sehingga agak sulit. Tapi akhirnya pun penelitian kami selesai.
Awalnya kami ingin melihat apakah terdapat perbedaan perilaku menolong pada warga asing dan lokal di Jakarta. Dan melalui penelitian ini kami mendapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku menolong masyarakat Jakarta pada warga asing dan lokal. Lega rasanya proyek ini selesai. Pada semester berikutnya, tanpa disangka, kami dikabari bahwa penelitian kami termasuk 10 penelitian terbaik di fakultas dan akan dimasukkan ke dalam jurnal yangkatanya masih digarap dan akan diikutsertakan pada Diskusi Panel Psikologi Perkotaan. Wah! Tentu saja kami senang bukan main. Rasanya semua susah senangnya kemarin terbayarkan. Ya, sedikit tentu ada terselip rasa bangga, karena dari sekian banyak penelitian, hanya 10 yang terpilih.
Pada acara Diskusi Panel Psikologi Perkotaan, banyak orang-orang penting atau berpengaruh dalam kebijakan perkotaan, saat itu bahkan dijadwalkan Ridwan Kamil akan datang, namun saya tidak tahu apakah beliau jadi datang atau tidak. Saat itu kami diminta untuk berdiri di depan poster yang menampilkan isi penelitian kami dan para peserta diskusi akan berkeliling poster penelitian. Saat itu jadwal kuliah kami berlima sedang sangat padat dari pagi hingga sore, sayangnya kami tidak bisa stay pada acara tersebut. Di sela istriahat dzuhur, kami menyempatkan diri untuk menengok suasana acara. Acaranya cukup ramai, pesertanya pun cukup banyak. Ketika berkeliling melihat pameran poster penelitian, sayangnya kami tidak melihat nama kami tercantum dalam poster penelitian kami. Mencoba berpikir positif, kami berkeliling melihat poster penelitian teman-teman yang lain. Dan ternyata poster penelitian yang 'tidak bertuan' hanya poster penelitian kelompok kami. Bukan main rasanya. Kecewa.
Kami mencoba menguhubungi panitia acara, namun ia hanya mengucapkan maaf sekadarnya lalu pergi karena mengurusi peserta. Setelah beberapa kali mengkomunikasikan, memang maaf terlontar, tapi tetap saja rasanya kecewa. Mungkin memang terderdengar sepele, tapi penghargaan terhadap sebuah karya menurut saya penting. Mungkin juga terdengar arogan, karena sudah diberi kata maaf tapi tetap kecewa. Jawabannya manusiawi. Lumrah bagi kami manusia merasa kecewa, manusia manapun paham akan itu.
Mohon maaf, saya tidak memiliki tujuan dan maksud tertentu untuk menyudutkan satu pihak. Saya hanya ingin mengungkapkan perihal yang membuat kami kecewa. Pun kami sudah memberikan maaf, meski pun dengan maaf tidak semerta pulih. Tetapi, tetap saya ucapkan terima kasih banyak atas upayanya. Kami hanya dapat berharap semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi,agar siapapun tidak malas berkarya, karena karyanya diapresiasi dan berharga. Mungkin sudah cukup sampai sini, tidak usah dibesar-besarkan lagi :)
Pelajaran dan pesan bagi saya dan kamu:
Belajarlah untuk memberikan penghargaan terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain, karena kita tidak tahu proses apa saja yang sudah ia lakukan untuk mencapai sesuatu. Saya percaya apresiasi punya peran penting yang membuat manusia menjadi manusia. Kerja keras tanpa apresiasi tentu menyakitkan bahkan bibit dari matinya motivasi.
Yang hanya dapat saya lakukan waktu itu adalah mencari seorang bule untuk menjadi experimenter yang akan menjadi aktor utama dalam penelitian kami. Kami sempat beberapa kali mengubah konsep penelitian, membandingkan dua suku besar di Indonesia, pribumi dengan keturunan tiongkok, namun akhirnya kami memutuskan tetap membandingkan perilaku kooperatif pada warga asing dan warga lokal di Jakarta. Dengan kekuatan koneksi, setelah bersusah payah ke sana kemari, saya pun berhasil mendapatkan seorang bule yang rela dan mau menjadi experimenter penelitian kami. He is Dave. Bule Aussie yang saat itu menjadi staff pengajar bahasa Inggris di salah satu lembaga kursus. Setelah saya cukup pulih, kami langsung mengagendakan 2 minggu berturut turut untuk conduct penelitian. Untuk mengontrol variabel lain, maka kami mengambil 2 waktu dan tempat yang bersamaan meskipun dalam minggu yang berbeda.
Pada minggu pertama, Dave yang memainkan perannya. Tugasnya adalah menanyakan arah pada masyarakat Jakarta. Dan kami akan melihat dan menghitung respon yang diberikan oleh masyarakat. Cukup berjalan dengan baik, meskipun di balik itu semua terdapat beberapa masalah, seperti kami datang terlambat ke GBK karena macet setelah menjemput Dave di apartemennya di Kelapa Gading, mobil terserempet motor, dan dompet saya dicuri. Pada minggu kedua, experimenter kami adalah saudara sepupu dari Fifah, (duh Fah maaf ya lupa namanya hehe). Tugasnya sama dengan Dave pada minggu sebelumnya. Hanya saja kendala lagi-lagi terus hadir. Kami sudah mengupayakan untuk berangkat awal, namun tetap saja agak kesiangan, kemudian venue dimana minggu lalu tempat Dave "mangkal" sudah berubah menjadi Area lari anjing, karena saat itu ada acara Dog run, untuk menemukan masyarakat yang sesuai dengan kriteria untuk ditanyakan pun agak susah (terkait masalah pengadministrasian) venue mulai sepi karena sudah agak siang sehingga agak sulit. Tapi akhirnya pun penelitian kami selesai.
Awalnya kami ingin melihat apakah terdapat perbedaan perilaku menolong pada warga asing dan lokal di Jakarta. Dan melalui penelitian ini kami mendapatkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perilaku menolong masyarakat Jakarta pada warga asing dan lokal. Lega rasanya proyek ini selesai. Pada semester berikutnya, tanpa disangka, kami dikabari bahwa penelitian kami termasuk 10 penelitian terbaik di fakultas dan akan dimasukkan ke dalam jurnal yangkatanya masih digarap dan akan diikutsertakan pada Diskusi Panel Psikologi Perkotaan. Wah! Tentu saja kami senang bukan main. Rasanya semua susah senangnya kemarin terbayarkan. Ya, sedikit tentu ada terselip rasa bangga, karena dari sekian banyak penelitian, hanya 10 yang terpilih.
Pada acara Diskusi Panel Psikologi Perkotaan, banyak orang-orang penting atau berpengaruh dalam kebijakan perkotaan, saat itu bahkan dijadwalkan Ridwan Kamil akan datang, namun saya tidak tahu apakah beliau jadi datang atau tidak. Saat itu kami diminta untuk berdiri di depan poster yang menampilkan isi penelitian kami dan para peserta diskusi akan berkeliling poster penelitian. Saat itu jadwal kuliah kami berlima sedang sangat padat dari pagi hingga sore, sayangnya kami tidak bisa stay pada acara tersebut. Di sela istriahat dzuhur, kami menyempatkan diri untuk menengok suasana acara. Acaranya cukup ramai, pesertanya pun cukup banyak. Ketika berkeliling melihat pameran poster penelitian, sayangnya kami tidak melihat nama kami tercantum dalam poster penelitian kami. Mencoba berpikir positif, kami berkeliling melihat poster penelitian teman-teman yang lain. Dan ternyata poster penelitian yang 'tidak bertuan' hanya poster penelitian kelompok kami. Bukan main rasanya. Kecewa.
Kami mencoba menguhubungi panitia acara, namun ia hanya mengucapkan maaf sekadarnya lalu pergi karena mengurusi peserta. Setelah beberapa kali mengkomunikasikan, memang maaf terlontar, tapi tetap saja rasanya kecewa. Mungkin memang terderdengar sepele, tapi penghargaan terhadap sebuah karya menurut saya penting. Mungkin juga terdengar arogan, karena sudah diberi kata maaf tapi tetap kecewa. Jawabannya manusiawi. Lumrah bagi kami manusia merasa kecewa, manusia manapun paham akan itu.
Mohon maaf, saya tidak memiliki tujuan dan maksud tertentu untuk menyudutkan satu pihak. Saya hanya ingin mengungkapkan perihal yang membuat kami kecewa. Pun kami sudah memberikan maaf, meski pun dengan maaf tidak semerta pulih. Tetapi, tetap saya ucapkan terima kasih banyak atas upayanya. Kami hanya dapat berharap semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi,agar siapapun tidak malas berkarya, karena karyanya diapresiasi dan berharga. Mungkin sudah cukup sampai sini, tidak usah dibesar-besarkan lagi :)
Pelajaran dan pesan bagi saya dan kamu:
Belajarlah untuk memberikan penghargaan terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain, karena kita tidak tahu proses apa saja yang sudah ia lakukan untuk mencapai sesuatu. Saya percaya apresiasi punya peran penting yang membuat manusia menjadi manusia. Kerja keras tanpa apresiasi tentu menyakitkan bahkan bibit dari matinya motivasi.
.annisaauliajustmine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar